LOVE THAT I SHOULD HAVE
Sekeras apa pun aku mencoba, aku tetap tidak bisa melupakan bayangan pria itu.
Karena saat itulah pertama kalinya aku merasakan getar cinta, ya..walau kata
orang yang lebih tua adalah cinta-monyet, tapi aku pikir yang aku alami ini
berbeda. Awal masa SMP ku dulu penuh dengan kecerian dan kebahagiaan. Aku punya
orangtua yang begitu perhatian terhadapku. Sampai peristiwa tragis itu datang
menimpaku yang duduk di kelas 8. Sulit tentunya bagiku untuk melupakan kejadian
yang terjadi terhadap kedua orangtuaku. Mereka meninggal ketika sedang dalam
perjalanan akan menjemput aku dari rumah tante Karina.
Hidupku diselimuti oleh awan gelap. Sejak itu aku menjadi anak yang pendiam dan
lebih suka menyendiri. Karena sikapku lah akhirnya teman-teman menjauhi aku.
Dan dalam keadaanku yang dirundung pilu inilah, pria itu, Ivan, datang
menyelamatkan aku yang terjebak jauh di dasar lembah kekelaman. Beruntunglah
dia sekelas denganku. Dia orang yang sangat unik. Auranya begitu cerah dan
hangat. Setiap orang yang ada didekatnya pasti merasa senang. Aku melihat
dengan siapa saja ia berbicara. Mereka yang kala itu berbincang dengan Ivan
selalu menampilkan senyum lebar sambil mata yang disipitkan.
Sampai pada suatu saat, dijam istirahat sekolah, hanya aku yang berada dikelas
dengan Ivan sedangkan yang lainnya pergi ke kantin. Aku tau ia sedang tidur, ia
menaruh kepalanya diatas meja dan melipat kedua tangannya. Kepalanya menghadap
ke arah kiri, tepat kearahku. Momen itu benar-benar membuat rasa penasaranku
semakin memuncak. Pada saat tertidur saja ia dapat menarik perhatian orang yang
melihatnya! Kemudian aku menghampirinya. Aku memperhatikan wajahnya yang sedang
berada dialam mimpi. Dia begitu tampan, populer, dan tentunya...sangat hangat.
“apa kau sangat menyukai wajahku?” katanya sambil masih memejamkan mata. Aku
terkaget mendengar ucapannya. Ternyata ia tau bahwa aku memperhatikannya? Aku
sungguh malu sekali!
Ia membuka kelopak matanya dan menatapku. Aku pun berkata: “siapa yang suka?!
Aku hanya sedang lewat dan ingin pergi ke kantin.”
Sekarang ia sudah dalam posisi duduk yang benar, tapi ia terus menghujamku
dengan pertanyaan-pertanyaannya yang membuatku gugup. “ingin pergi ke kantin
ya? Bukankah kau selama ini tidak bereaksi terhadap siapa pun dan apa pun yang
dilakukan orang-orang disekitarmu? Kau tau, terjebak dalam suatu masalah dan
tak mampu untuk keluar dari masalah tersebut adalah hal yang sangat mengerikan,
lebih mengerikan dari kau ditolak orang yang kau sukai.” Mendengar ucapan yang
sangat dewasa terlontar dari bibirnya, mataku langsung terbelalak. Orang ini
tidak seperti yang lainnya. Aku rasa kehidupanku tak akan sama lagi.
Perlahan aku mulai merajut tali pertemanan diantara kita. Hari demi hari ku
lewati penuh dengan senyuman bersamanya. Aku dapat merasakan diriku yang dulu
mulai muncul. Aku kembali aktif dan teman-teman yang lainpun sepertinya
merindukan diriku yang sesaat menghilang. Aku bisa seperti ini berkat dia.
Siapa lagi kalau bukan Ivan dan wejangan-wejangannya setiap hari yang selalu
mengiang ditelingaku.
Tetapi yang kutakutkan pun terjadi. Perasaan yang semula hanya sebagai teman
tumbuh melebihi batasnya. Aku menyukainya! Meskipun begitu, aku tidak berani
mengatakannya. Karena Ivan seorang yang populer bahkan dikalangan kakak kelas.
Semua murid perempuan disekolahku berebut untuk menjadi orang yang spesial
dihati Ivan. Tidak sedikit dari mereka yang berwajah cantik, pintar, dan
mempunyai keahlian dibidangnya masing-masing seperti melukis, bermain musik,
dll. Namun, yang aku tau, tidak ada satupun dari mereka yang diterima oleh
Ivan.
Siang itu aku menerima telfon dari kakak kelasku perempuan. Aku terhentak
mendengar pertanyaannya.
“hei, apa kau ada hubungan spesial dengan Ivan?”
“t-tidak, aku hanya berteman dengannya.”
“apa kau menyukainya?”
“...........”
“hei, aku tanya apa kau menyukainya?!”
“aku..... tidak menyukainya.”
“baiklah kalau begitu.”
Entah mengapa setelah menerima telfon dari kakak kelas itu perasaanku jadi
tidak tenang. Keesokan harinya, saat aku sedang berjalan menuju kelas melalui
koridor sekolah, aku mendengar berita bahwa Ivan berpacaran dengan seorang
kakak kelas. Pikiranku otomatis langsung menerka-nerka kalau kakak kelas yang
berpacaran dengan Ivan adalah orang yang menelfonku kemarin. T-tapi, kenapa dia
menanyakan pertanyaan seperti itu? Apa Ivan mengatakan sesuatu kepadanya?
Semenjak itu juga lah aku tidak pernah lagi berbicara ataupun bertegur-sapa
dengan Ivan. Ia seperti menghindar, dan aku pun menghindarinya. Aku sangat
menyukainya, tapi aku sadar orang yang ia sukai yaitu kakak kelas tersebut. Aku
tidak punya hak untuk bersikap egois seperti ini. Aku ingin terbangun dari
mimpi ini!!!!
“aku kira kau akan mati karena bermimpi, kalau begitu aku akan langsung
menghubungi cinta pertamamu di masa SMP itu.” cela Vivian kepadaku.
Aku memimpikan masa itu lagi. Sudah beberapa kali ini
terjadi ketika aku merindukannya. Tak terasa 6 tahun sudah terlewati bersama
dengan kenangan tentang pria yang kusukai itu. Kini aku seorang mahasiswi yang
menekuni fakultas Sastra Jepang. Aku suka membaca manga atau komik. Dan Vivian
adalah teman terbaikku yang pernah ku miliki. Ia satu jurusan denganku, tetapi
ia sudah ingin cepat-cepat magang ke Jepang dan akan berangkat 1 bulan lagi.
Aku juga mempunyai keinginan yang sama seperti Vivian, tapi aku rasa belum
saatnya bagiku untuk meninggalkan Indonesia. Masih ada yang harus aku
selesaikan.
“ahh..kepalaku sedikit sakit.” Erangku sambil menyentuh
kepalaku yang terasa pening.
“oh ya, tadi ku lihat ada pesan tuh dihapemu.” Ucap Vivian
yang menggandeng tasnya.
“pesan dari siapa?” katanya lagi.
Tanpa menunggu lama aku menekan tombol Open dan ternyata
pesan dari teman SMP-ku Florentina yang mengingatkan akan berlangsungnya acara
Reuni SMP kelasku. Ini menegangkan sekali. Reuni SMP kelasku, kelas 8-1,
kelasku dulu bersama Ivan. Hari itu akhirnya tiba.
Vivian mengawasi hapeku dan rupanya ia juga ikut membaca
pesan dari Florentina. “waaw, jadi ga sabar besok nih ya mau ketemu pujaan
hati? Kaya apa ya dia sekarang? Tambah ganteng atau tambah jelek? Hehe..”
Vivian memang paling rajin kalau meledekku. Padahal sendirinya ia pun belum
punya pacar.
“kau itu kalau bicara jangan sembarangan! Sudah ah, aku mau
pulang.” Menghindari Vivian sejauh mungkin adalah jurus yang jitu. Kalau tidak,
wajahku pasti langsung memerah karena ia terus menggodaku tentang masa lalu.
***
Reuni SMP kami diadakan di sebuah kafe. Florentina sudah mengurus semuanya dari
sebulan sebelumnya. Ini pertama kalinya kami bertemu kembali, walaupun ada
beberapa yang tidak dapat hadir tapi aku sangat senang bisa melihat wajah-wajah
teman SMP-ku yang dulu lugu sekarang begitu berubah drastis.
Dia tidak ada. Aku mencari-cari sosoknya tapi sepertinya ia tidak hadir. Aku
sedikit kecewa, padahal ini kesempatanku untuk beretemu dengannya setelah
sekian lama kita tidak berjumpa. Apa yang menghalanginya? Apa dia terlalu sibuk
dengan dunianya? Aku tidak ingin ambil pusing.
Acara reuni kami pun berjalan dengan lancar. Kami benar-benar menikmati suasana
keakraban yang terjalin malam itu. Tawa dan canda menghiasi ruangan yang sudah
kami pesan. Meskipun bahagia, aku tetap merasa ada yang kurang. Aku ingin
bertemu dengannya. Tapi kenapa dia mengabaikan acara reuni yang mempertemukan
kami? Apa dia tidak ingin bertemu denganku?
“Sevilla, ada apa denganmu? Apa acaranya tidak menyenangkan?” aku tidak sadar
ternyata Florentina mendekatiku dan berbicara denganku.
“ah, tidak..acaranya meriah sekali. Aku suka.” Jawabku agak sedikit kaku.
“ah, aku tau! Kau pasti gelisah karena Ivan tidak datang. Betul, bukan? Ayo
mengaku saja. Hehe” candanya sambil menyenggol sikutku beberapa kali karena aku
tidak menjawabnya.
Dengan tersipu aku mengatakannya. “iya. Apa kau tau mengapa ia tidak hadir?”
tanyaku serius.
“dia...” belum selesai Florentina menyempurnakan kalimat perkataannya seseorang
menjawabnya.
“aku disini.” Kata orang itu.
“ah itu dia! Ivan kau telat 1 jam! Apa kau tidak tau Villa gelisah menunggumu?!
Dasar kau tukang telat!”oceh Florentina seketika itu juga saat ia melihat Ivan
sudah datang.
“Flo! Ucapanmu berlebihan, aku tidak segelisah yang kau
katakan. Kau, tau?!” bantahku dengan cepat. Aku tidak mau Ivan melayang ke
angkasa sedangkan aku malu karena perkataan Florentina.
“sudahlah, kalian gunakan momen ini untuk
berbincang-bincang. 6 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk kalian berpisah.
Aku akan mengurus anak-anak yang lainnya.” Ujar Florentina yang melemparkan
handuk kecil pada Ivan lalu pergi meninggalkan kami di atap kafe berdua.
Aku sungguh gugup dan tidak tau mau mulai pembicaraan dari
mana. Untunglah Ivan adalah orang yang asik, jadi tanpa terlihat kikuk ia
mengajakku kembali ke masa dulu SMP. Mengenang semua yang pernah terjadi, dan
kelucuan-kelucuan kami ketika masih memakai seragam putih biru. Sebenarnya ada
yang ingin kutanyakan kepada Ivan. Aku menyimpan rasa penasaran ini sejak lama.
Aku ingin mengetahui kebenarannya. Lalu aku pun memberanikan diri bertanya pada
laki-laki itu.
“kau ingat, dulu saat SMP kau pernah berpacaran dengan
seorang kakak kelas kita?”
“tentu. Ada apa?”
“ada seorang kakak kelas yang menelfonku waktu itu, dia
menanyakan hubunganku denganmu. Dia juga bertanya apa aku suka padamu atau
tidak. Apa dia adalah pacarmu? Kakak kelas yang sama dengan orang yang
menelfonku?”
“iya..”
“tapi kenapa dia bertanya seperti itu kepadaku? Apa kau
mengatakan sesuatu kepadanya? Kalau ia suka padamu, kenapa tidak langsung
mengatakannya?”
“bodoh...apa kau sebodoh itu?”
“a-apa maksudmu?”
“aku menyukaimu. Sejak dulu...itu sebabnya aku meminta dia
menanyakannya padamu, tapi ternyata kau hanya menganggapku sebagai teman. Dan
itu juga yang membuatku jengkel. Aku dulu masih penuh dengan emosi. Setelah tau
ternyata kau menganggapku hanya sebagai teman, aku pun memutuskan untuk berpacaran
dengan kakak kelas itu dan menjauhimu...”
“a-apa? K-kau menyukaiku? Sejak dulu?”
“ya. Aku minta maaf karna sudah menyakiti hatimu. Aku
menghindarimu karna aku ingin melupakanmu. Tetapi, sampai detik ini, aku bahkan
belum bisa menghapus bayangmu dari fikiranku. Aku selalu bermimpi bertemu
denganmu. Aku ingin mengatakan perasaanku padamu, tapi aku tidak tau info
apapun tentangmu sampai Florentina mengadakan reuni ini. Kau tau selama 1 bulan
aku menyiapkan diri matang-matang untuk berani menyatakan perasaanku padamu.
Hehe”
Aku memeluknya. Mendekapnya erat dan menangis di pundaknya.
Aku tidak mengira reuni ini akan sangat berkesan. Ivan yang dingin dan cuek
mengungkapkan seluruh perasaannya kepadaku. 6 tahun penantianku selama ini
tidak berakhir menyedihkan. Aku tidak bisa berkata-kata aku sangat bahagia
malam itu. Mengetahui bahwa ia juga menyukaiku sungguh sebuah anugrah. Aku
tidak akan melepaskanmu lagi Ivan. Sudah cukup masa-masa kelam diantara kita.
Sekarang yang akan ada hanyalah kebahagiaan.
“aku juga menyukaimu, kau tau?! Tapi aku tidak mengatakannya
karna kau terlalu cuek jadi aku takut kau akan menolakku dulu. Andai saja dulu
aku tau kau juga menyukaiku aku tidak harus menunggu selama ini bukan?” ucapku
sambil tetap memeluk Ivan.
Ivan tertawa dalam pelukanku. Begitu indah dan membuatku
tenang. “haha Villa, kau tidak berubah. Aku sangat mencintaimu...tapi biar
bagaimanapun, aku bersyukur karna penantian kita tidak sia-sia. Aku benar-benar
bersyukur...terimakasih Tuhan.”
THE
END
You have just read an article that category by title LOVE THAT I SHOULD HAVE. You can bookmark this page with a URL https://asoerimba.blogspot.com/2012/08/love-that-i-should-have.html. Thanks!
Ditulis oleh:
Unknown - Jumat, 03 Agustus 2012
Belum ada komentar untuk "LOVE THAT I SHOULD HAVE"
Posting Komentar